Sabtu, 29 November 2014

Ketika Anakku Menjadi Seorang Kakak


Persiapan menjelang kelahiran anak kedua, buatku lebih santai. Baju, popok, barang2 keperluan bayi lainnya tidak perlu beli masih ada lungsuran anak pertama. Menrsiapkan setelah tahu hamil. Jadi kata "Galau" karena takut nggak bisa mengurus dua anak, aku buang jauh-jauh. Aku siap!! Itu kutulis besar-besar di pikiran dan hati *dramatis dikit lah yah.
Ada satu hal yang nggak luput aku siapkan. Hal yang. ungkin sering terabaikan oleh euforia "hamil lagi". Yaitu mempersiapkan anakku menjadi seorang kakak. Kenapa perlu? Hmm coba bayangkan suami yang lebih nempel sama kita biasanya, terus tiba-tiba hadir orang baru tengah-tengah keluarga dan suami pun menjadi lebih perhatian pada orang baru itu. Kira-kira apa perasaan ibu-ibu semua. Ah, pasti samalah ya jawabannya. Cemburu!. Contohnya nggak enak banget ya hahahaha. Begitu pun mungkin yang dirasakan anakku ketika hadir adiknya. Cemburu berlebihan bisa menyebabkan sibling rivalry. Kecemburuan ini kalau terbawa sampai dewasa bisa menimbulkan ketegangan, konflik, atau bahkan persaingan yang tidak sehat.
Ketika hamil, aku mengenalkan Kay tentang hadirnya orang baru yaitu seorang bayi. Apa bayi itu? Kay waktu itu masih usia 2 tahunan. Aku ajak Kay menengok tetangga atau teman yang baru melahirkan. Ia melihat, memegang, memdengar tangis, memeluk. Setidaknya ia punya gambaran tentang seperti apa bayi itu.
Selanjutnya aku ceritakan bahwa aku akan lebih sering menggendongnya, menyusui, memangku, bayi akan tidur disebelahku, dan lain-lain beserta alasannya. "Bun akan sering gendong adik karena di belum bisa jalan. Kakak lihat kan bayi di rumah tante kemaren nggak bisa kemana-mana, akhirnya mamanya gendong terus". Jelaskan kenapa adik disuapi, sedangkan Kakak harus berusaha makan sendiri. Ini baginya nggak adil ketika harus dibedakan dan dia kebagian yang nggak enaknya. Orang dewasa pun akan merasakan hal yang sama kan.
Satu hal lagi yang kucoba agar terpatri dipikiran Kay. "Keberadaan adek nggak akan merubah apapun". Jadi semua perilaku orang tua nggak ada yang berubah padanya. Kami tetap memeluknya ketika tidur, membacakan cerita, bermain dan crafting (aku lakukan pas adiknya tidur siang atau malam, sampai saat ini masih seperti itu). Pelukan, ciuman, ucapan sayang bukan berkurang tapi justru kami tambah porsinya. Kebiasaan sebelum punya adik pun seperti menemani masak, menemani bun belanja, bercerita sambil pelukan tidak dihilangkan ditengah sibuk mengurus bayi.
Dalam mengurus bayi, Kay pun aku libatkan meskipun tugasnya sederhana. Pilihkan baju adik, ambil popok, memeluk adek kalau bun tinggal dan lain sebagainya. Biasanya setelah adiknya, mandi, bajunya sudah rapi ditempat tidur disiapkan oleh kakaknya hihihi. Kami ajak Kay mengikuti perkembangan adiknya. "Wah kak, adek uda bisa teriak-teriak pasti pengen cepet bisa ngobrol sama kakak", "kak adek uda bisa berdiri sebentar lagi bisa kejer-kejeran sama kakak nih". Selanjutnya ia yang akan lebih excited melihat kebisaan baru adiknya."Bun..Bun...adek uda bisa makan sendiri. Wah pinternya. Kok bisa ya bun dia makan sendiri". Dan masih banyak laporan-laporan tentang adeknya bisa apa sekarang.
Hal yang paling sering terjadi ketika mulai besar adalah berebut mainan. Untuk ini aku menekankan "barang ini punya siapa?". Ini yang harus jelas untuk anak-anak, ketika ingin barang orang lain maka ia harus ijin. Bila tidak diijinkan maka pakai barang yang lain. Pemilik barang boleh dengan tegas bilang "nggak boleh!!" karena itu memang haknya. Akhirnya pelajaran untuk mereka adalah pinjam dan ijin untuk barang bukan miliknya. Bukan malah sebaliknya, karena adek itu kecil, lebih lemah dari kakak, jadi lebih prioritas terhadap apapun dan kakak yang sudah akan besar disuruh mengalah. Nantinya adik yang terbiasa mendapatkan apanpun menjadi pemaksa. Kakaknya pun mungkin akan belajar merebut barang dr orang lain selain adik. Dalam benaknya "aku ngalah, kenapa orang lain nggak". Nah ini bisa jadi bibit pemaksa, perebut. 

Adiknya, Ale, sudah usia 1,5 tahun. Bisa kubilang mereka seperti teman sekarang. Sikapnya yang berbeda 360 derajat menjadi saling melengkapi. Seperti kejadian ketika main dengan kelinci, Ale takut mendekat tetapi Kakaknya baik-baik saja memberi makan kelinci. Ale pun akhirnya dikit-dikit maju mendekat. Kay yang agak lama "panas" dengan lingkungan baru, belajar enjoy dari adiknya. Mereka saling belajar satu sama lain.


Rabu, 12 November 2014

Selamat Hari Ayah!

Sosok Ayah mempunyai ruang tersendiri di hatiku. Ia tak banyak bicara, tak banyak menuntut.
Ayahku pegawai kantoran, tapi bagiku, ketika aku kecil ia seorang yang jenius. Setiap PRku tak luput dari bantuannya. Ia seakan bisa menjawab setiap kesusahanku dengan matematika atau bahasa. Ia pintar sekali merangkai kata. Ayahku berwawasan luas Ia selalu bisa menjawab pernyataan TTS di Surat kabar. Bahkan aku pernah menang atas bantuannya.

Aku ingat dengan vespanya, ia mengantarku sekolah yang hanya beberapa langkah dari rumah. Ketika tahun baru, pada suatu malam kami pulang dari acara kantornya, di atas vespa itu aku meniup terompet riang, sedang Ayah melaju vespanya menembus angin malam. Jalanan sepi, tak ada hingar bingar, hanya suara terompetku memecah malam. Saat itu menjadi malam terindah bagiku ketika kecil.

Dari Ayahku, aku belajar tentang kesederhanaan. Ia mengajarkan tentang dahulukan kebutuhan, bukan kemauan. Pendidikan anak-anaknya seakan menjadi yang utama kala itu. Kebutuhannya sendiri kadang ia kesampingkan. Pernah aku merengek, kenapa Ayah tak membeli mobil, teman-temanku meskipun hanya mobil murah pun punya. "selama masih ada angkot ya naik angkot aja" begitu katanyaa. Duh jahatnya aku, terlalu banyak menuntut. Setelah berkeluarga aku menyadari, ada yang harus didahulukan, ada yang dinomer sekiankan. Bukan tak mampu tapi apa memang butuh mendesak.

Garis menua terlihat jelas sudah. Rambut dan kumisnya memutih. Badannya tak segagah yang dulu.  Tapi aku masih belum bisa memberikan sesuatu padanya. Maafkan aku Ayah. Aku membalasnya dengan doa-doa yang sebar di udara. Semoga Allah mengabulkannya. Selamat Hari ayah!