Sosok Ayah mempunyai ruang tersendiri di hatiku. Ia tak banyak bicara, tak banyak menuntut.
Ayahku pegawai kantoran, tapi bagiku, ketika aku kecil ia seorang yang jenius. Setiap PRku tak luput dari bantuannya. Ia seakan bisa menjawab setiap kesusahanku dengan matematika atau bahasa. Ia pintar sekali merangkai kata. Ayahku berwawasan luas Ia selalu bisa menjawab pernyataan TTS di Surat kabar. Bahkan aku pernah menang atas bantuannya.
Aku ingat dengan vespanya, ia mengantarku sekolah yang hanya beberapa langkah dari rumah. Ketika tahun baru, pada suatu malam kami pulang dari acara kantornya, di atas vespa itu aku meniup terompet riang, sedang Ayah melaju vespanya menembus angin malam. Jalanan sepi, tak ada hingar bingar, hanya suara terompetku memecah malam. Saat itu menjadi malam terindah bagiku ketika kecil.
Dari Ayahku, aku belajar tentang kesederhanaan. Ia mengajarkan tentang dahulukan kebutuhan, bukan kemauan. Pendidikan anak-anaknya seakan menjadi yang utama kala itu. Kebutuhannya sendiri kadang ia kesampingkan. Pernah aku merengek, kenapa Ayah tak membeli mobil, teman-temanku meskipun hanya mobil murah pun punya. "selama masih ada angkot ya naik angkot aja" begitu katanyaa. Duh jahatnya aku, terlalu banyak menuntut. Setelah berkeluarga aku menyadari, ada yang harus didahulukan, ada yang dinomer sekiankan. Bukan tak mampu tapi apa memang butuh mendesak.
Garis menua terlihat jelas sudah. Rambut dan kumisnya memutih. Badannya tak segagah yang dulu. Tapi aku masih belum bisa memberikan sesuatu padanya. Maafkan aku Ayah. Aku membalasnya dengan doa-doa yang sebar di udara. Semoga Allah mengabulkannya. Selamat Hari ayah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar